Noda Cinta

Anggapan mereka tentang diriku yang mengkait-kaitkan kehidupan rumah tangga orangtuaku ku tepis sejauh-jauhnya. Siapa mereka yang seenak jidatnya bercerita ini dan itu!!! Apa yang mereka ketahui sesungguhnya tidak ada!!! Hanya menilai dari kulit luar saja itu belum bisa di anggap betul. Masa bodoh, kenapa aku pikirin, toh gak menghasilkan apa-apa. Degup jantungnya tak beraturan menahan amarah yang teramat sangat pada tetangga kiri kanan yang mengguncingkan ayahku. Rena tergopoh-gopoh berjalan mengimbangi antara kekusutan hati dan debaran jantungnya.

“Kak aku lapar nih sejak dari siang di sekolah hanya makan donat satu di belikan teman.” Adiknya yang bungsu Ronal menyambut dengan kalimat yang menambah kekalutan suasana hatinya. Sementara adiknya Popi belum juga pulang dari sekolah sejak ayahnya tak lagi memperhatikan kelakuan Popi semakin menjadi, sering pulang telat dari sekolah.

“Sebentar kakak masak nasi dulu, kamu bantu kakak beresin rumah ya.” Bujuknya lembut. Rena tak dapat menyangkal ia teramat lelah menghadapi semua yang terjadi. Sebagai seorang anak ia harus menghadapi kegetiran di masa mudanya. Teman-teman sebayanya saat ini tentu menikmati bercanda ria dengan keluarga bermain tertawa bahagia seperti yang ia lihat pada keluarga lainnya. Ada tetesan hangat menggulir jatuh lembut di pipi mulusnya. Reflek tangannya menghapus tetes air dari pipinya wajah yang semula tak bersemu kini ia bingkai dengan senyum menghibur dan berbisik dalam hati ‘ahhh aku senang aku bahagia aku sehat aku tak apa-apa tak ada yang perlu ku risaukan. Rena semangat itu harus ada, ya bersemangatlah!’ Sambil mencuci beras ia bernyanyi kecil.

Bintang-bintang di langit sana sampaikan kerinduanku pada bunda tercinta. Matanya mulai redup tapi tak pernah ia lupa selalu memandang langit sebelum tidur dari balik jendela kamarnya. Rena dan mimpinya menghiasi malam hingga fajar menyingsing

***

“Ren ntar malam kamu ikutan pesta ulang tahun si Hilda kan. Pakai bajunya seragam yuk.” Kata Fia sembari mengunyah permen karet di mulutnya.

“Seragam apaan sih maksud kamu? Hey ini pesta ulang tahun biasa bukan pesta topeng.”

“Aduh dasar kamu gak ngerti, ya ialah yang bilang pesta topeng tuh siapa Claudia Rena.” Balas Fia mencibirkan bibirnya ke wajah teman baiknya. “Maksudku kita seragam warna busana bukannya seragam pola dan modelnya, ah kamu yang ada-ada aja.” Fia mengedipkan matanya yang rada-rada sipit itu.

Ooo begitu toh.. tapi sayang, aku hanya punya satu gaun pesta berwarna ungu muda itu pun aku tidak tau apa masih muat di badanku. Apa kamu punya warna yang sama? Rena memeluk pundak temannya mereka berjalan di sepanjang sisi lorong sekolah.

“Jangan yang itu deh, gimana kalau merah? Aku punya dua. Untukmu bolehlah ku pinjami namanya juga sahabat so buatmu apa yang aku punya akan ku berikan deh say.” Jawabnya polos. tiba-tiba timbul akal Rena mengerjai sahabatnya.

“ Ohh, kau memang sahabat sejatiku Fia, apapun akan kau berikan padaku?” Fia menganguk. Sungguh? tanya Rena lagi.

“Iyalah sayang.” Jawab Fia yakin.

“Oke kalau begitu Fi aku suka tuh sama senyum si Rudy yang menawan boleh nggak sampaikan salamku.” Tiba-tiba bola mata Fia melototi Rena, bibirnya yang tipis di monyong-monyongkan.

“Apa katamu Ren?” Tawa Rena terpingkal-pingkal melihat wajah sahabatnya. “Lho katanya mau memberikan apa saja permintaanku gimana sih yang konsekwen dong say.”

“Tapi untuk yang satu itu no way…apa kamu mau aku celup dan rebus di panci Mas Eko? Biar jadi santapan mahasiswa kampus kita hah? Fia semakin melototkan bola matanya.

“Aduh ampun tuan putri Fia yang cantik dan manis kayak lollipop.” Mereka tertawa bersama-sama tak perduli pada pandangan mahasiswa lainnya. “Hey Fi kamu ajak Rudy kan? Masak aku ikutan tarjadi obat nyamuk deh.” Kata Rena kemudian di dalam kelas.

“Iyalah kita bertiga gak apa-apa kok. Nanti aku jemput jam 7 tepat siap-siap yah.” Jawab Fia. Hey aku lupa ntar pulang sekolah singgah dulu ke rumah ambil gaun merah. Oke?” Tak lama kemudian Pak Budi Dosen Automata sudah di depan kelas.

Fia dan Rena adalah dua sahabat yang sejak SMA sudah bersama-sama. Rena di anggap bukan orang lain lagi dalam lingkungan keluarga Fia. Mama Fia sangat bersahabat dengan almarhumah bunda Rena. Dan tak ada rahasia antara mereka dua sahabat itu. Sahabat yang selalu riang dan bercanda saling memahami dan saling berbagi. Fia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara ia anak kesayangan mamanya, berbeda dengan Rena. Rena adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Saat kritis Rena adalah waktu bundanya meninggal dunia dua tahun lalu di tambah ayahnya kini selalu jarang pulang. Hidup ayahnya berganti dari pelukan satu wanita ke wanita lain. Bahkan kejadian yang paling parah saat ayahnya pulang membawa wanita yang hanya selisih beberapa tahun dari usianya. Hingga para tetangga sekitar rumahnya selalu menggunjingkan perbuatan ayahnya. Kesemuanya itu adalah masa-masa perih yang Rena hadapi. Beruntung ia mempunyai sahabat yang selalu siap sedia menghiburnya. Fia dan Rena ibarat sepasang sandal jepit. Begitulah mama Fia selalu menjuluki mereka. Kemana-mana selalu bersama. Dimana ada Fia disitu ada Rena. Namun sejak kehadiran Rudy di sisi Fia, Rena seakan merasa menjadi penghalangnya. Ia merasa tak enak hati pada Rudy. Tapi Fia tak mau perduli. Rena beberapa kali mengatakan menolak jika di ajak bersama-sama. Begitulah mereka. Hingga kini kuliah di UI memasuki tahun kedua mereka selalu berdua bahkan sekelas.

Hanya polesan tipis bedak dan lipstick pink malam itu Rena tampak luar biasa cantik. Rambutnya yang berombak hitam di tata seadanya gaun merah yang di pinjamkan Fia teramat seksi membalut tubuhnya yang ramping. Sepatu hitam setinggi lima senti menghiasi kakinya yang panjang. Ya Rena adalah gadis yang usianya masih 22th dan dengan dandanan malam ini tambah menampakkan kedewasaannya. Semua di tunjang dengan tubuhnya yang tinggi 165 dan langsing berkulit kuning langsat. Fia mengajaknya berdandan ke salon tapi ia lebih memilih mencuci pakaian adik-adiknya yang sudah menumpuk selama tiga hari. Baginya waktu ke salon itu tak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Tante Vina adalah adik bundanya yang selalu datang membantunya tapi tidak setiap hari. Hanya dua tiga kali tantenya mau membantu. Itupun karena rasa hormat pada kakaknya. Tante Vina merasa muak melihat tingkah kakak iparnya alias ayah Rena. Tapi semua itu di luar kontrolnya kak Boy begitu biasa tante Vina memanggil ayah Rena, dia teramat sayang pada kak Jenny bunda Rena. Sehingga ia selalu mencari pelarian dari bermacam wanita. Malam ini tante Vina berjanji akan datang menjaga adik Rena sementara Rena dan Fia ke pesta ulang tahun Hilda teman kampus mereka. Suara klakson mobil Xenia milik Rudy beberapa kali berbunyi memanggil-manggil Rena dari dalam.

“Iya sebentar !!!” Teriak Rena dari dalam rumahnya.

Tiiiitt …. Tiiiiiit…! Suara klakson terus berdering memecahkan gendang telinganya.
“Iya iya…aku datang tuan putri dan pangeran !!!” Teriaknya lantang dari dalam rumah lagi. Begitu ia tiba di mobil membuka pintu.

“Wow keren… aduh sayangku kau cantik sekali.” Kata Fia terkagum kagum. Tapi mata Rena menangkap sosok lain di dalam mobil itu. Seorang pria tampan dengan senyumnya duduk di sebelah Rudy. Fia langsung mengerti tatapan itu.

“Oyah kenalin ini sepupu Rudy dari Medan namanya Rico.”

Tak berapa lama mobil melaju, Fia memperbaiki tatanan rambut Rena. Ia sendiri mengakui sahabatnya ini memang cantik. Tapi Rena merasa ada sesuatu yang membuatnya kehilangan canda seperti biasa. Ia terpaku pada sosok orang yang duduk di sebelah Rudy. Dari belakang ia dapat melihat bebas kepala dan punggung pria itu. Seolah olah tahu di pandangi Rico pun sesekali memalingkan wajahnya ke jok belakang memamerkan seuntai senyumnya.

Tiba di kafe D’Blues tempat pesta ulang tahun Hilda diadakan, nampak terlihat beberapa teman-teman mereka yang saling melambaikan tangan ke arah Rena dan Fia. Rudy dengan tangkas memarkirkan mobilnya.

Di acara ulang tahun tersebut mereka menikmati potong kue nyanyi bersama dan kemudian bersantap malam. Masing-masing berhaha hihi dengan kelompoknya. Di sela acara santap malam musik instrument menghibur mereka, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Rico menghampirinya.

“Hai, belum makan? Atau sedang diet?” Rena seketika gugup entah apa yang harus ia katakan. “Oh, aku tak pernah diet hanya belum lapar.” Jawab Rena sambil memainkan poni rambutnya yang jatuh di keningnya.

“Tidak keberatan jika menemani saya dance malam ini?” Tanya Rico. Rena mengernyitkan keningnya, apa? disini? Matanya memandang sekeliling ruang kafe yang memang luas hingga ke taman belakang.

“Ya, musik ini enak buat dance” mari… Rena tiba-tiba sudah berada dalam pelukannya Rico. Gerakan yang reflek yang Rena sendiri tak menyadari sama sekali, mungkin karena terbuai alunan musiknya yang memang enak dan merdu atau karena hatinya.

“Ahhh…” Fia melihat mereka berdua, ia mencolek Rudy “hey, sepupumu itu orang baik-baik kan?” Rudy hanya tersenyum simpul “jangan takut sayang, dia buronan di Medan tapi buronan cinta.” Fia mencubit lengan Rudy, tapi ia percaya keluarga Rudy adalah orang yang terpandang di Medan. Setidaknya ada rasa tenang mengalir dihatinya. Ia sangat menyayangi Rena.

Dua jam tanpa terasa mereka di pesta Hilda sekarang sudah hampir jam sepuluh kurang beberapa menit lagi. Hilda tersenyum bahagia pada Fia dan Rena. “Makasih banget kalian datang di pestaku. Sungguh makasih ya.”

“Ah, Hil kami juga berterima kasih sama-sama kita bahagia di malam ini apalagi kamu yang berulang tahun aduh cantiknya kamu.” Kata Fia memeluk Hilda. “Oyah Ren, kamu tidak mau kenalin pacar kamu ?” wajah Re bersemu merah, Rico menyalami Hilda. Tak lama mereka pamit.

“Rud cepetan aku kebelet pipis nih.” kata Fia yang sudah tidak mampu menahan pipisnya.

”Iya iya ini juga sudah masuk jalan Patimura kok.” Begitu sampai di depan pagar rumah Fia langsung kedalam rumah di ikuti Rudy. Tinggallah Rena dan Rico di dalam mobil.

“Sebentar aku antarin kamu pulang ya.” kata Rico menatap wajahnya.

“Mmm gak usah biar Rudy aja.” Jawabnya kikuk.

Tak lama Rudy dan Fia sudah menghampiri mereka di mobil. Ren maaf ya say, aku sakit perut nih gak bisa antarin kamu pulang. Tapi ada Rudy kok. Gak apa-apa kan?”

“Iya gak apa kok Fi udah kamu istirahat aja dulu ya. Salam buat mama.” Jawab Rena.

Tak lama kemudian mobil Xenia Rudy sudah keluar dari jalan pattimura. Rico dan Rena saling membisu. Rudy membuka percakapan. “Hari Senin Rico terdaftar jadi MABA di kampus kita lo Ren. Tapi dia Semester 6. Kakak Senior kita.” Kata-kata Rudy membuat Re semakin salah tingkah di jok belakang. Ia tak percaya kenapa Rico tak mengatakan dari tadi? Apa Fia juga sudah mengetahuinya ? tiba-tiba mobil Xenia Rudy sudah memasuki gang rumahnya. Memang tidak terlalu jauh jarak rumah Rena dan Fia. Jika di tempuh dengan ojek paling hanya sepuluh ribuan bayarnya. Oke makasih ya Rud,Rico. Tanpa menunggu balasan kata dari Rudy, Re sudah masuk ke halaman rumahnya.

Paginya dikampus, Rena dan Fia di sibukkan dengan ujian dadakan dari pak Phati Dosen Borlan C++ mereka. Bukan hanya Fia dan Rena yang kecewa tapi mahasiswa lainnya juga mengeluhkan Quis dadakan dari pak Phati. Alhasil mereka hanya bisa menyelesaikan 7 dari 10 soal yang diberikan. Tapi hanya satu yang berhasil mendapat nilai terbaik yaitu Lucky si Gondrong. Dia memang mampu menguasai banyak bahasa Pemrograman. tapi Lucky tak pernah sombong dengan semua yang di milikinya. Ia menjadi incaran teman kampus jika ada tugas khususnya dijurusan Teknik Informatika.

Kelas Borlan C++ sudah usai, Rena dan Fia segera kekantin kampus sambil menunggu kelas selanjutnya. Rena mengatakan apa yang semalam membuatnya terkejut.

“Fi apa kamu tau kalau sepupu Rudy itu mau sekolah di sini juga ya?” Fia menganggukkan kepalanya. Di seruputnya es kelapa mudanya. “Rudy sudah bilang ya semalam sama kamu.”
Rena balas mengangguk. “Dia pindahan dari Medan ikut orangtuanya. Bapaknya dapat tugas di sini. Kata Rudy memang dia suka pindah-pindah sekolah karena seringnya ikut orangtuanya. Eh ada apa nih kamu naksir ya sama dia?” Tiba-tiba Fia menggodanya.

“Ah, kamu gila ya? Traktir aku bakso bang Eko ya.” Ajak Rena mengalihkan pembicaraan.
Hari itu berlalu seperti hari-hari lain, Rena dan Fia menikmati masa-masa mereka dengan sebaik-baiknya. Sampai pada hari dimana Rico masuk kampus yang sama. Tak ada yang terjadi diawal-awal pertama karena masih memerlukan penyesuaian lingkungan kampus buat Rico. Sebulan berlalu tanpa terasa. Hingga suatu hari saat pulang kuliah Rena yang selalu mendapat tumpangan mobil bersama dengan Fia dan Rudy namun hari ini ia malah diajak pulang bersama dengan Rico. Rena menolak dengan alasan sudah terbiasa menumpang mobil Rudy. Mendengar ini Fia dan Rudy jadi keheranan. Ada apa ini? Apa mereka sudah pacaran? Tapi ah tidak mungkin Fia selalu percaya pada sahabatnya itu. Ia tau pasti pribadi Rena bagaimana. Dan Rena tak mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. Pada Rudy lain lagi ia dan sepupunya itu jarang berbicara panjang lebar. Rico termasuk pria yang pendiam. Jadi saat Fia bertanya padanya ia tak tau harus bilang apa. karena memang ia tak pernah tau kalau Rico sejak pertama mengenal Rena sudah jatuh cinta pada gadis itu.

“Ya sekali-kali biar aku yang antar Rena pulang bolehkan Fia?” Ucap Rico kemudian.
“Buatku sih tak masalah yang penting orangnya mau aja.” Jawab Fia sambil melirik Rena.
“Ah, tidak usah lain kali aja Co.” balas Re cepat tapi ada keresahan di wajahnya dan Fia baru pertama kalinya melihat wajah sahabatnya seperti itu.

“Udah udah ah, Co kamu antar Rena ya. kebetulan hari ini aku mau ke toko buku sama Fia.” Kata Rudy memutuskan. Fia hanya diam Rena pun juga ikutan diam. Tiba-tiba Rico menggandeng tangan Rena, situasi itu tak lepas dari penglihatan Fia dan Rudy. Rena seketika kikuk ia merasa aneh di perlakukan begitu. Tapi entah kenapa ia tak punya daya apa-apa. Rico membukakan pintu mobilnya mempersilahkan Rena masuk, masih dari jarak beberapa meter didalam mobil lain Fia dan Rudy masih memandang dua sosok yang membuat mereka terheran-heran. Tak lama mobil sedan corona hitam milik Rico sudah melaju ke jalan raya Urip Sumiharjo di susul kemudian mobil Xenia milik Rudy.

Didalam mobil Rico mulai membuka pembicaraan diantara mereka. Rena meremas-remas jari tangannya yang mulai terasa dingin. Rasa kikuk tak juga hilang sedari tadi.

“Maaf kalau tadi aku tiba-tiba. Ia menoleh sedikit ke arah Rena. Rena hanya diam dan diam.

“Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum kuantar pulang.” Masih Rico yang bicara.

“Kok kamu diam terus, aku minta maaf atas kelancanganku tadi.” Rico memperlambat laju mobilnya. “Aku tidak marah, lain kali jangan begini. Tidak enak dengan Fia dan Rudy.” Suara Rena nyaris tak terdengar. Ia berusaha melawan gemuruh hatinya yang membuatnya kikuk sejak tadi. Rico tersenyum teramat senang. “Oke lain kali aku janji tak akan membuatmu begini lagi di hadapan Fia dan Rudy. Tapi ngomong-ngomong aku lapar kita makan yuk.” Ajak Rico masih dengan senyum yang mengambang. Rena hanya mengangguk.

Mereka makan di restoran pizza. Rena lebih banyak diam. Rico menawarkan pesanannya. Dalam hati Rena makan di tempat seperti ini ia teringat kelima adik-adiknya. Hatinya sedih memikirkan adik-adiknya. Sepuluh menit kemudian pesanan mereka sudah tersedia. Rena hanya makan sedikit, tiba-tiba entah kekuatan darimana ia berkata. “Boleh aku bungkus aja punyaku ini terlalu banyak aku tak bisa menghabiskan semua.” Rico tersenyum lagi. “Ya boleh tentu saja boleh apa masih kurang? Aku pesankan lagi mau?” Tanya Rico. “Sudah, sudah cukup terimakasih.” Jawab Rena kemudian ia tertunduk malu.

Selesai makan Rico mengantar Rena pulang kerumahnya.

..Di perjalanan..

“Aku boleh ke rumahmu kapan-kapan?” Rena mulai bisa mengontrol rasa kikuknya dengan lugas ia menjawab pertanyaan Rico. “Boleh saja kita kan berteman kenapa nggak.” Rico memutar kemudinya memasuki gang rumah Rena. Sesampainya di rumah Rico bukan langsung pulang malah memarkir mobilnya. Ia ikut turun dan masuk ke rumah Rena. Rena hanya tercengang dibuatnya. “Aku kan juga perlu mengenal orang rumahmu.” Jawabnya enteng.

“Dirumahku tak ada siapa-siapa hanya adik-adikku, ayahku belum pulang kerja.” Kata Rena.

“Dengan adik-adikmu juga tak apa-apa.” jawabannya mengiringi langkah kakinya hingga ke ruang tamu. Belum Rena mempersilahkan duduk Rico, adiknya yang ke dua sudah menghampiri kakaknya. “Kak tuh si Ronal deman dia muntah lagi.” Re terkejut setengah mati. Ia berlari mencari adik bungsunya. Rico mengikutinya kekamar. Re meraba kepala adiknya. “hahh badannya panas sekali bagaimana ini?” Ayahnya belum tentu pulang hari ini, Rena kebingungan akalnya mencari jalan keluar. Rico melihat gelagat Rena, ia kemudian seakan mengerti apa yang Rena pikirkan. “Untuk apa kau mondar mandir begitu ayo kita bawa adikmu ke dokter sekarang.” Rico dengan sigap mengangkat tubuh Ronal dan membawanya ke mobil diikuti Re. Popi tinggal menjaga rumah.

Di klinik Ronal di periksa seorang dokter, kata dokter Ronal menderita usus buntu dan harus segera tindak operasi. Terbayang biaya berapa rupiah yang harus di bayar Rena, tiba-tiba lemas seketika ia pingsan tak sadarkan diri. Rico dengan cepat memeluk tubuh Rena yang sempoyong. Sepuluh menit kemudian Rena langsung sadar dan tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya. Pikirannya tertuju pada adiknya Ronal, Ternyata Rico masih berada di sisinya tanpa sadar ia memeluk Rico, memeluk dengan tubuhnya yang bergetar menahan tangis. Rico terkejut sesaat. “Sudahlah, adikmu sudah di bawa ke rumah sakit untuk di operasi. Kau sudah kuat sekarang?” Tanya Rico lembut.

Rena mengangguk dalam pelukan Rico. Setelah itu mereka menyusul Ronal kerumah sakit yang tidak jauh dari klinik tersebut. Dalam hati Rena, ia sangat malu pada Rico tapi apa boleh buat kejadian ini di luar dugaannya. Adiknya kini sudah dalam perawatan seorang dokter dan hari ini juga langsung dioperasi. Rena duduk disudut ruang tunggu dengan perasaan kalut ditemani Rico yang sejak tadi melihat kekalutan yang tergambar di raut wajahnya. “Rena, kamu kenapa lagi? Sudah jangan terlalu banyak pikir doakan adikmu operasinya berjalan lancar.”

“Co mengapa kamu terlalu baik padaku? Aku…aku” Rena tak meneruskan kata-katanya.

“Apa? ada apa Ren?” Rico mendekatinya. “Ah tidak apa-apa Co.” jawab Rena. tangannya mengucek-ucek ujung baju seragamnya. “Aku tak bisa melihat adikmu menderita menahan sakit seperti tadi, hanya itu dan lagi kau adalah temanku apa salah aku menolongmu?” Terang Rico.

“Terimakasih Co, tapi aku mmm berapa biaya yang diminta pihak rumah sakit tadi Co?” tanya Rena lagi.

“Oh itu yang kau pikirkan Ren? tak usah risau aku bayar depositnya 700ribu agar adikmu cepat di tangani.” Jelas Rico. Rena berjanji bagaimanapun caranya ia akan berusaha mengganti uang Rico. “Nanti aku ganti uangmu ya Co.” Rena mengatakannya tapi tak sanggup melihat wajah Rico.

“Sudahlah itu lagi itu lagi, aku ikhlas membantumu.” Rena dan Rico menunggu hingga operasi adiknya selesai. Di lain tempat Popi dan tante Vina menanti harap-harap cemas. Mereka tak mengetahui kemana Rena dan Rico membawa Ronal. Tiba-tiba saja Fia sudah diambang pintu memanggil-manggil nama Popi. “Oh kak Fia, kak Rena tidak ada, mereka membawa Ronal katanya ke dokter tapi dimana kami tidak tau.” Jelas Popi. “Kak Fia tau mereka dimana ayo kemas baju-baju Ronal sekarang juga. Maaf tan tadi Rena dan Rico menelpon ke rumah, mereka sekarang berada di rumah sakit. Ayo kita kesana.” Jelas Fia pada tante Vina yang juga baru mengetahui peristiwa tersebut. Tante Vina kebetulan mampir habis mengantar baju jahitan pesanan orang.

Tak berapa lama mereka sudah sampai di tujuan. Hari sudah menjelang malam. Rico masih menemani Rena menunggu adiknya yang belum siuman sehabis operasi. Fia dan Rudy serta Popi dan tante Vina menyuruh mereka istirahat. Fia memperkenalkan Rico pada tante Vina. Tak lama kemudian. “Rena biar malam ini tante yang jaga Ronal kalian besok kan kuliah. Ohya, terimakasih banyak ya Rico sudah menemani Rena disini.” Kata tante Vina ramah.

“Tidak apa-apa kok tante tidak usah sungkan.” Balas Rico. “Eh sejak pulang sekolah kau belum pulang ya Co? pantas saja tadi mamamu cari, beliau menelpon ke rumah yang terima mamaku.” Kata Rudy. “Aku sudah kabarin mama kok barusan.” Jelas Rico.

Tante Vina menyuruh Rena dan Popi untuk pulang tapi kata Popi ia akan pulang bersama Fia dan Rudy. Akhirnya Rena dan Rico pulang duluan. Sebelumnya Fia memeluk sahabatnya tersebut “Rena ingat ya semangat… yang penting sekarang Ronal selamat.” Rena membalas pelukan Fia dengan erat. “Ya makasih Fi.” Jawab Re.

“Co makasih banyak hari ini kamu sudah membantuku.” Kata Rena dalam perjalanan pulang.

“Tak perlu bilang begitu, aku tulus membantumu setulus hatiku padamu Ren.” jawab Rico. Tiba-tiba jantung Rena seakan berhenti berdetak. Ia memandang wajah Rico dari samping duduknya. Rico terlihat santai seakan tak merasa apa-apa. “Rena maukah kau jadi pacarku?” Tanya Rico, mobil yang di kendarainya tiba-tiba berhenti di tepi jalan. Rena tak bereaksi. “Kalau boleh aku jujur, sejak pertama bertemu malam itu aku sudah menyukaimu, aku serius Ren…wajahmu mengingatkanku pada seseorang yang pernah dekat dihatiku. Namun ia kini sudah tenang di surga.” Rena tetap bungkam,hatinya kian tak tentu detaknya.

“Aku dan dia baru menjalin hubungan dua bulan tetapi karena sakit yang di deritanya membuatnya tak tertolong lagi. Ia menderita leukemia sejak kecil. Dan…” Rico tak meneruskan kata-katanya lagi. Rena melihat Rico ia merasa ada kejujuran disana, di mata Rico yang merah menahan kesedihannya.

“Aku…aku juga pertama melihatmu… aku,,” dan Rena kini yang terbata-bata. Rico memegang jemari tangan Rena. Jari-jari tangan yang sedingin salju itu di kecup lembut oleh Rico. Rena tertunduk malu. “Kau bersedia jadi pacarku kan Ren?” tanya Rico memamerkan senyum bahagianya. Re hanya mengangguk.

Yah malam itu mereka berdua mengikat janji sebagai seorang sepasang kekasih. Dan hari-hari berlanjut berlalu dengan warna-warna cinta yang memadu kisah kasih dua insan muda yang sedang kasmaran. Rico sudah mengetahui apa yang terjadi dengan orangtua Rena tetapi itu tak menjadi penghalang hubungan mereka. Rico banyak membantu Rena seperti saat Ronal keluar rumah sakit Ricolah yang paling punya andil besar membayar biaya pengobatan Ronal adiknya. Bagi Rico yang orangtuanya cukup berada itu tak seberapa tetapi bagi Rena, itu suatu bantuan yang teramat besar. Kini tibalah saat ujian akhir khususnya buat Rudy dan Rico. Mereka akan melanjutkan S2 mereka keluar negeri seperti harapan orangtua mereka. Lain dengan Fia dan Rena yang hanya naik semester. Masa-masa yang mereka lalui bersama selama ini saling menjaga dan menghormati saling membantu suka dan duka.

Bagaimana Ujiannya Co? kata Rena saat makan siang di kantin.

“Lumayan, tapi masih bisa terjangkau dalam memoryku, semua pertanyaan penguji bisa aku jawab” Balas Rico.

“Ya harus begitu, bagaimana pun kamu satu-satunya harapan orangtuamu.” Balas Rena lembut.
Ya semoga saja hasil Ujian Sidangnya tidak mengecewakan mereka.” ujar Rico sambil mengunyah makanannya dengan lahap. Tak berapa lama Fia dan Rudy menghampiri.

“Hay kalian disini rupanya.” sapa Rudy dan mereka berdua duduk saling berhadap-hadapan.

“Gimana tadi Co tanya Rudy sambil membuka-buka skripsi yang dibawanya.

“Iya aku dan Re ikut risau sejak tadi.” Ucap Fia menulis pesan makanan buat Rudy dan dia.

“Yah lumayanlah.” jawab Rico. Rena tersenyum melirik pada kekasihnya itu.

Siang itu mereka bersenda gurau seperti hari-hari sebelumnya, tapi mereka pulang cepat untuk mempersiapkan hari kedua ujian akhir keesokan hari.

Re, ayah minta segelas kopi cepattt!!! Perintah ayahnya sore itu. Rena cepat-cepat ke dapur membuatkan kopi ayahnya. Popi dan Ronal ketakutan mendengar suara ayah mereka. tak lama Rena meletakkan secangkir kopi buat ayahnya.

“Rena..! kamu besok tak usah sekolah, ayah akan mengenalkan kalian pada bu Titin yang akan menjadi ibu kalian. Jadi besok kau masak ini uang belanja.” Kata ayahnya sambil menyerahkan lembaran duapuluh ribuan dua lembar padanya. “Tapi yah…” jawab Rena.

“tak ada tapi-tapian hanya sehari saja kau mau membantah perintah ayah hah..!” Ayah Rena bertambah gusar. Memang ayah mereka jarang pulang ke rumah. Saat ayah mereka tak pulang dan mereka kesekolah kunci rumah selalu di titipkan pada tetangga sebelah keluarga pak Agung hanya mereka yang baik pada Rena dan adik-adiknya. Terkadang Ronal dan Popi selalu di ajak makan siang dengan mereka. Rena pulang dari sekolah baru memasak buat adik-adiknya biasanya jika tante vina ada dialah yang selalu masak buat mereka. Ayah mereka hanya datang dan pergi sesuka hati.

***

Pagi yang di nanti-nantikan itu tiba, Rena tidak kesekolah begitu juga dengan Popi dan Ronal. mereka sengaja meliburkan diri dari sekolah untuk memenuhi keinginan ayah mereka. Rena kepasar berbelanja dan masak. Tepat jam 10 pagi ia sudah beres dengan pekerjaannya. Ayah mereka dari semalam pergi dan janji pagi ini pulang cepat. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ayahnya datang bersama seorang wanita. Wanita tersebut berusia 40tahun ia seorang janda tak beranak. Wajahnya cukup keibuan. wanita itu bersama ayahnya dan seorang lagi yang tak di kenal. “Ini anak saya yang pertama Rena dan yang itu Popi ini yang bungsu Ronal.” Ayahnya memperkenalkan mereka. wanita itu tersenyum manis juga orang asing itu yang tak lain adalah saudara wanita ayahnya. ”Kalian cantik-cantik juga si jagoan kita ini.” Kata wanita tersebut. Siang itu menjadi sangat berarti bagi keluarga Rena. Pertemuan yang cukup mengesankan buat mereka. Ibu yang akan menjadi pengganti bunda mereka memang kelihatan baik setidaknya Rena dan adik-adiknya sedikit lega. Ditilik dari usia yang tak berbeda jauh dengan usia bunda mereka halus kata-katanya serta lembut pandangannya. Rena dan adik-adiknya menyetujui ayahnya menikahi wanita pengganti bunda mereka.

Seminggu kemudian acara sederhana digelar di rumah mereka. Ada kebahagiaan di wajah ayahnya kini Rena melihat lagi senyum yang telah lama hilang itu yang tak pernah menghiasi hari-hari ayahnya sejak kepergian sang bunda tercinta. Dalam hati Rena berdoa kiranya ini adalah langkah terbaik buat ayah dan kehidupan selanjutnya. Ia sangat mengerti adalah pukulan hebat buat ayahnya yang teramat mencintai bunda hingga ayahnya mencari dan selalu mencari sosok bunda dari wanita-wanita yang ia kencani. Kini hadir wanita berwajah lembut semoga selembut hatinya. Kini tak ada lagi hujatan para tetangganya tentang kemelut keluarganya.

***

Hari berganti hari dan hidup Rena serta adik-adiknya kembali normal. Ayahnya kini terlihat cerah dan sangat bahagia. Tidak seperti Rena yang hari itu terlihat merenung tak bersemangat di dalam kamarnya. Ia tau hal ini lambat laun akan ia hadapi. Sudah sejak lama saat Rico mengatakan bahwa setelah lulus nanti ia akan melanjutkan studi ke luar negeri seperti permintaan orangtuanya. Dan hari itupun terjadi saat Rico mengajaknya jalan saat Kuliahnya hari itu selesai. Aku tak bisa melawan kehendak orangtuaku tapi percayalah aku selalu mencintaimu dan tunggulah aku Re. Terngiang terus kata itu di benak Rena.

Malam hari disaat Rena sedang mengusir keresahan hatinya dengan menulisi buku diarynya ia di kejutkan dengan kedatangan Rico. Tak ada pemberitahuan sebelumnya tentang kedatangannya malam ini. Alhasil Rena bertanya-tanya ada apa gerangan. “Bisa ikut aku malam ini?” Pinta Rico padanya.

“Ada apa Co?” tanyanya penasaran. “Ikut aku sekarang Ren.” pinta Rico sekali lagi.

Rena bergegas minta ijin orangtuanya. Hubungan mereka sudah di ketahui oleh orangtuanya. Setelah itu Rico memacu mobilnya dan Rena yang berada di sampingnya merasa kebingungan namun ia hanya bisa diam. Mobil melaju dalam kebisuan mereka. Rico tetap tenang sebaliknya Rena semakin resah dalam situasi seperti itu.

“Co,kita akan kemana?’ Tanya Re dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Jalan-jalan aja.” Jawab Rico singkat. Sedetik kemudian ia memarkirkan mobilnya di sebuah taman di pinggir jalan.

“Rena aku sudah berusaha untuk meminta orangtuaku untuk tidak melanjutkan study di luar negeri. Tapi mereka bersikeras, aku tak mau meninggalkanmu Rena, aku tak bisa, aku tak sanggup.” Kata Rico lalu memeluk Rena dengan erat. Re terenyuh dengan kata-kata Rico ia juga merasakan hal yang sama tapi sayang mereka tak punya pilihan lain. “Co, sudahlah semua ini toh untuk masa depanmu. Orangtuamu betul kau harus mengerti. Aku juga sedih kita berpisah tapi…” Rena tak melanjutkan kalimatnya. Rico memandangi wajahnya dalam teramat dalam tanpa sadar mencium bibir Rena dengan lembut. Dalam seketika mereka hanyut dalam gairah yang tak kuasa mereka bendung hingga terjadilah itu. Mereka tak sadar mereka tak terkontrol. Yang seharusnya mereka hindari kini sia-sia. Rena terpaku melihat pakaiannya yang sudah tersingkap. ia hanya bisa menangis dan menangis. Rico ikut terperanjat ia berusaha membujuk Rena yang tersedu-sedu. “Ren aku…aku ahh !!!” ia memukul stir dengan keras. “Aku salah aku yang salah Ren. Maaf, maafkan aku Ren…”

Nada suara Rico terdengar perih. Namun semua telah terjadi tak ada gunanya penyesalan.
Dalam pikiran Rena berkecamuk segampang itu kegadisannya terenggut. Ia ingin meronta tapi apa daya, ia mencintai Rico dan mereka hanyut dalam suasana yang tak terkendali.

Malam menampakkan kegarangannya sayup-sayup Rena merintih dalam ruang pekat dari bilik kamar tidurnya yang hitam sehitam lembaran hidupnya. Noda yang harus ia bawa selama hidupnya kesucian yang terbungkus membalut noktah masa depannya. Betapa tidak cinta yang selama ini ia kagumi hanya dalam hitungan menit menghancurkan harapan terindahnya. Noktah itu akan selalu membayangi hari-harinya sementara cinta pada kekasihnya yang telah pergi membawa sejuta pertanyaan akankah ia kembali? Akankah ia mengingat janji setianya? Dan akankah noktah itu…??? Rena tak jua mendapat jawabannya hanya bisa menanti dan menanti setiap malam setiap hari bulan dan tahun yang tak kunjung lepas dari bayangan noda dimalam itu. Sepucuk surat di jemarinya ia remas kusut basah oleh airmatanya. Bunyi surat itu,,

Jatuh cinta demikian sederhananya namun menjauh dari cinta begitu menyakitkan, Aku ingat ketika kau berkata tubuh duniawi harus sering berpisah untuk tujuan duniawi. Dan harus sering terpisah karena maksud duniawi, namun jiwa tetap bersatu dengan aman di tangan cinta sampai kematian datang dan mengambil jiwa-jiwa itu untuk Tuhan. Dari yang terkasih Rico

Cinta mempunyai dua sisi, yaitu satu kesabaran dan yang lainnya nafsu. Cinta adalah sesuatu yang menyala. Tiada pidana yang lebih berat dari pada yang dijalani seorang wanita yang mendapati dirinya terperangkap diantara: seorang pria yang dicintainya dan seorang pria yang mencintainya.” (Kahlil Gibran)

Share

0 komentar:

Posting Komentar